Pembaruan Terkini Laman 2 Toggle Comment Threads | Pintasan Keyboard

  • abrari 1:52 pm on 22 May 2012 Permalink | Balas  

    Komuter 

    Komuter ialah mereka yang pulang pergi dari rumah ke tempat kerjanya dalam jarak yang jauh. Contoh mudahnya ialah mereka yang rumahnya di Bogor dan kerjanya di Jakarta.

    Rekan saya banyak yang menjadi komuter seperti ini. Maklum, karena jurusan Ilmu Komputer biasanya bekerja di perusahaan IT yang biasanya juga terletak di ibukota. Kalau tidak menetap di Jakarta, ya harus menjadi komuter.

    Memang gajinya biasanya besar. Tapi saya sendiri tidak suka menjadi komuter. Berangkat dari rumah pagi buta, dan pulang sampai di rumah pada malam hari, begitu setiap hari kerja (kalau sudah berkeluarga gimana ya?). Ditambah harus berdesak-desakan di kereta, menunggu kemacetan, dan sebagainya. Perjuangan setiap harinya sepertinya cukup berat; istilahnya tua di jalan. Saya yang tidak suka safar tentu tidak akan betah dengan rutinitas seperti itu.

    Kalau mereka bisa menikmati yang demikian, ya tidak masalah.

     
    • asfarian 8:46 am on 26 Juni 2012 Permalink | Balas

      Hahaha. Setuju :)
      Dulu sempat ngakalinnya dengan baca sepanjang perjalanan. Lumayan, dua hari pulang pergi bisa habis satu buku ;)

  • abrari 11:20 pm on 13 May 2012 Permalink | Balas  

    Menilai 

    الإيمان يزيد وينقص

    Iman itu bertambah dan berkurang

    ***

    Dari kalimat tersebut, bagaimana kita menilai seseorang dengan objektif?

    Saat orang tersebut sedang naik imannya, penilaian kita kepadanya akan baik. Sebaliknya, saat orang tersebut sedang turun imannya, penilaian kita kepadanya akan buruk. Sayangnya kita sulit mengetahui bagaimana naik-turunnya iman seseorang (termasuk diri kita sendiri), apakah lebih banyak naiknya atau lebih banyak turunnya. Kalau lebih banyak naiknya, berarti taatnya lebih banyak, sedangkan kalau lebih banyak turunnya, berarti maksiatnya lebih banyak.

    Bisa jadi, orang tersebut banyak kebaikannya yang kita tidak ketahui, namun kita menilainya saat dia melakukan keburukan, maka kemungkinan besar kita akan menilainya buruk. Bisa juga sebaliknya, orang tersebut banyak keburukannya yang tidak kita ketahui, namun kita menilainya saat dia melakukan kebaikan, maka kemungkinan besar kita akan menilainya baik.

    Dan Allah-lah sebaik-baik penilai.

     
    • syaif 7:55 am on 30 Mei 2012 Permalink | Balas

      betul mas abrar… apa lagi jika orangnya itu munafik… di depan kita ia bagus.. tapi di belakang (?)…. berarti jawabannya siapapun orangnya, prinsip kita untuk mendekati atau dekat dengannya adalah karena Allah swt…. jika kita mendekatinya dengan cara baik, maka kita akan mendapati teman yg baik (dan sebaliknya)…. dan orang2 yg baik akan bersama-sama orang baik….

      • abrari 12:03 pm on 1 Juni 2012 Permalink

        Jangan bilang “munafik” ah, berat konsekuensinya, hehe

  • abrari 6:19 am on 4 May 2012 Permalink | Balas  

    Untuk beramal shalih 

    Dari khutbah Jum’at siang ini,

    Banyak ayat Al-Quran yang menjelaskan tentang orang yang sudah mati yang meminta kepada Allah untuk dikembalikan ke dunia (antara lain Al-Mu’minun: 100). Perhatikanlah, bahwa mereka tidak meminta dikembalikan ke dunia untuk harta mereka, untuk anak mereka, atau untuk keperluan dunia lainnya. Mereka meminta dikembalikan ke dunia untuk beramal shalih. Sesuatu yang dahulunya mereka  tinggalkan ketika masih hidup.

    Karenanya, mumpung masih di dunia, gunakan kesempatan untuk memperbanyak amal shalih. Jangan disepelekan karena kita nggak bisa meminta untuk dikembalikan lagi ke dunia saat sudah wafat untuk memperbanyak amal shalih.

     
  • abrari 1:06 pm on 21 April 2012 Permalink | Balas  

    Pemaafan dan kedewasaan 

    “Bersikap dewasalah, jangan kekanak-kanakan. Maafkan dia, jangan menyimpan dendam!”

    Sebuah nasihat dari seorang kepada saudaranya. Nasihat yang baik, namun ada yang janggal menurut saya. Nasihat tersebut menyatakan bahwa sikap memaafkan adalah sikap dewasa, sebaliknya sikap tidak memaafkan atau mendendam adalah sifat kekanak-kanakan.

    Benarkan seperti itu? Coba kita bandingkan, antara orang dewasa dan anak-anak, siapa yang lebih mudah memaafkan?

    Saya justru menganggap bahwa anak-anak jauh lebih mudah memaafkan dibandingkan dengan orang dewasa. Coba kita ingat, ketika kita masih kecil dulu “berantem” dengan teman, bukankah dalam waktu singkat bisa baikan dan bermain bersama lagi? Berbeda dengan orang dewasa kalau sudah “berantem”, akan sulit memaafkan dan mungkin akan selalu diingat. Betapa banyak peperangan yang dipicu oleh adanya dendam, dan mereka itu orang dewasa bukan?

    Jadi, menurut saya, sifat mudah memaafkan adalah sifat kekanak-kanakan, sedangkan sifat mendendam adalah sifat orang dewasa. Dengan demikian, sifat kekanak-kanakan ini lebih baik :)

     
  • abrari 1:19 am on 15 April 2012 Permalink | Balas  

    Tidak jauh berbeda 

    Beberapa hari yang lalu, diadakan lokakarya untuk menyusun kurikulum baru di departemen. Barangkali ini termasuk program kerja ketua departemen yang baru. Panitianya tentu saja para pejabat dan staf departemen, dan saya yang masih newbie ini juga ikut serta dalam tim.

    Hal yang menarik adalah, bahwa ternyata kepanitiaan yang dilakukan tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan para mahasiswa dalam hal “mepet-mepet”, hehe. Mungkin memang sudah dipersiapkan, namun ternyata rush hour juga terjadi pada H-1 seperti kalau kepanitiaan dilakukan oleh mahasiswa. Bayangkan saja, suvenir untuk seluruh tamu undangan yang nilainya sekitar 5 juta rupiah baru dibeli malam hari, padahal acaranya besok paginya. Jadilah kami malam hari harus berburu benda-benda yang dibutuhkan. Dan semua baru pulang dari kantor sekitar pukul 9 malam. Hal yang lain terkait molornya waktu saat acara, ini sudah biasa.

    Entahlah, apakah memang yang seperti ini wajar. Idealisme saya mengatakan tidak seharusnya seperti ini, karena yang mepet-mepet biasanya tidak bagus hasilnya. Sekedar idealisme.

     
    • syaif 4:15 pm on 18 April 2012 Permalink | Balas

      di kampusku mirip Mas, dosen itu memang udah sibuk jd apa boleh buat dikerjainnya mepet2 gt…. dosen2 dsini rela nglembur sampai mlem bgt lo Mas… jam 1 (pagi) gtu…. *sya jg sering dilibatkan dlm acra lokakarya kampus….

    • Humble 5:33 am on 29 April 2012 Permalink | Balas

      Staf Departemen juga manusia Indonesia mas, haha

    • moezaik 6:46 am on 18 Juni 2012 Permalink | Balas

      podo wae mas…
      sampai saat ini pun masih disibukkan dengan urusan program studi..
      jadi,masalah penyusunan kurikulum, pengaturan jadwal kuliah, jadwal uas, sampai urusan lokakarya, technical assistance, studium generale yang dadakan sudah terbiasa…

  • abrari 2:06 pm on 9 April 2012 Permalink | Balas  

    Kebahasaan: adalah versus ialah 

    Sedikit pelajaran dari proses revisi skripsi. Perihal penggunaan kata “adalah” yang sering kita gunakan, ternyata tidak selalu benar. Ada kalanya “adalah” digunakan secara salah, yang mestinya menggunakan “ialah”. Merujuk kepada KBBI (dengan sedikit perubahan pada contoh):

    ada·lah v 1 identik dng: Tauhid — falsafah umat Islam; 2 sama maknanya dng: Desember — bulan kedua belas; 3 termasuk dl kelompok atau golongan: saya — pengagum Ki Hajar Dewantara

    ia·lah p penghubung di antara dua penggal kalimat yg menegaskan perincian atau penjelasan atas penggal yg pertama itu: yg perlu dikerjakan sekarang — membawa korban ke rumah sakit

    Terlihat perbedaannya, bahwa “adalah” bisa disamakan dengan “merupakan”, sedangkan “ialah” adalah kata yang tepat untuk menunjukkan perincian, penjelasan, atau yang semisalnya. Ada cara mudah untuk mengecek apakah kata “adalah” sudah digunakan dengan benar, yaitu:

    Ganti kata “adalah” dengan “merupakan”. Bila kalimatnya menjadi aneh, maka kata yang benar yaitu “ialah”

    Sebagai contoh:

    “Nilai X yang digunakan adalah 10” (salah)

    “Nilai X yang digunakan ialah 10” (benar)

    “Cara ini adalah cara yang paling sederhana” (benar, karena bisa diganti dengan “merupakan”)

    Hayo yang lagi skripsian, coba cek lagi semua kata “adalah” di tulisannya, biar nggak banyak dicoret-coret pas revisian :)

     
    • Wisata Bromo Murah 6:30 am on 9 Agustus 2014 Permalink | Balas

      mantap sekali ulasan antum
      bisa di praktekin…

    • Aan Setyawan 4:06 am on 16 Februari 2016 Permalink | Balas

      coba kasus ini: 1. orang yang merampok bank adalah sekelompok pencuri kawakan
      2. orang yang merampok bank ialah sekelompok pencuri kawakan
      3. orang yang mencuri bank merupakan sekelompok pencuri kawakan

      Semua arti berterima

  • abrari 2:32 am on 6 April 2012 Permalink | Balas  

    Nikah? Gundhulmu itu! 

    Alkisah, seorang pemuda dihinggapi gelisah di saat kuliah. Godaan yang mengancam agama dan kehormatannya terasa kian keras mendera. Puasa dan beraktivitas positif telah dilakukannya. Tetapi kadang justru itu! Aktivitas dakwah justru mempertemukannya dengan para akhawat yang menarik hatinya (nah ini nggak bener dakwahnya .red). Hatinya kian gerah. Maka kepada ayahanda dan ibunda dikuatkannya hati untuk berkata, “Pak..Bu..Boleh nggak saya nikah sekarang…?

    Tentu saja ada empat mata yang terbelalak di ruang keluarga selepas isya hari itu.

    “Heh..ngomong apa kamu? Nikah? Nikah? Gundhulmu itu!”

    Kepalanya menunduk.

    “Mbok ya sadar, Nak..”, kali ini terdengar lebih lembut. Sang ibu. “Kamu itu kuliah masih semester berapa?! Bapak dan ibu nggak pernah melarang kamu ikut-ikutan aktivitas…apa itu namanya…e?”

    “Dakwah..”

    “Iya dakwah! Tapi jangan aneh-aneh! Nikah saat kuliah, memangnya anak istrimu mau dikasih makan apa? Dipikirkan yang dalam ya Nak.. Jangan bicarakan lagi masalah nikah sebelum kamu lulus ya!”

    “Tapi, banyak godaan Bu.. Nggak kuat!”

    “Puasa, puasa!! Katanya belajar agama, gitu aja nggak ngerti.”

    “Sudah Pak..Sudah..”, sang ibu menarik tangan ayahnya. Lalu dia ditinggalkan. Sendiri. Tergugu. Wajahnya panas. Matanya berkaca-kaca. Hatinya belah.

    Beberapa semester berlalu, dan esok adalah wisuda yang dinanti-nanti. Maka malam ini adalah saatnya bicara, begitu sang pemuda bergumam dalam hati.

    “Pak..saya sudah lulus..tentang pernikahan..?”

    “Eh, lulus itu artinya kamu pengangguran baru!”

    “Iya Nak..kamu konsentrasi cari kerja dulu ya…”

    Dan ia tak berkata apa-apa lagi. Harapan yang berkecambah telah tersiram air panas.

    Waktu berganti. Dan kini pekerjaan sudah dalam genggaman.

    “Pak..Bu..Emm, saya kan sudah kerja sekarang..”

    “Kerja apa? Serabutan gitu! Tidak nyambung dengan kuliahmu! Hh..Dengarkan! Bapak mau bicara baik-baik. Kamu cari pekerjaan yang mapan dulu. Baru kita bicarakan pernikahan!”

    Pucuk daun harapan kembali pupus, hangus terbakar matahari.

    Tetapi Allah Maha Kuasa. Beberapa tahun berjalan, pekerjaan di sebuah instansi bergengsi pun didapat. Dan berseri-seri wajah pemuda itu menghadap, “Pak..Saya sudah bekerja seperti harapan Bapak..”

    “Lha, kamu itu berangkat kerja saja masih pakai motor yang Bapak belikan. Nanti, ngomongin nikah kalau kamu sudah punya mobil..”

    Dan beberapa tahun kemudian. “Pak..Bu..Saya sudah punya mobil..”

    “Tapi nanti mau tinggal dimana Nak..? Coba ya, kamu usahakan punya rumah dulu..”, kali ini sang ibunda yang lembut hati. Yang ia merasa hilang daya dan lumer sumsum kalau beliau sudah bicara. Ia menyerah lagi.

    Hingga suatu hari. “Pak..Bu..Rumahnya sudah jadi!!! Jadi, kapan saya dinikahkan?”

    Bapak ibunya saling berpandangan. Dan mereka menangis, “Aduh Nak..Umurmu sudah 55..Siapa yang mau?”

    Disadur dari tulisan di internet, dari “Jalan Cinta Para Pejuang” (Salim A Fillah)

     
    • meiz 3:00 am on 6 April 2012 Permalink | Balas

      sedih amat brar..
      moga2 papah mamah”nya” ga gitu hehe.. xD

    • East9_21 2:00 pm on 6 April 2012 Permalink | Balas

      Elu gundul?

    • irham16 6:32 am on 25 April 2012 Permalink | Balas

      kasian bangett.Apa yag disuruh ortunya biar bisa nikah udah diikutin ehh tapi sayang keberu udah tua

  • abrari 12:57 am on 3 April 2012 Permalink | Balas  

    Sabar dan ridha berbeda. Sabar ialah sikap tidak menyukai kenyataan tetapi ia tidak melakukan hal-hal yang menyalahi syariat dan menyalahi kesabaran. Adapun ridha adalah sikap tidak membenci kenyataan sehingga apa yang terjadi atau yang tidak terjadi pada dirinya dianggap sama. Inilah perbedaan ridha dan sabar. Oleh karena itu, mayoritas ulama berkata, “Sabar itu wajib, tetapi ridha itu boleh.”

    Syaikh Ibnu Utsaimin, Fatawa juz 1, hlm 60-61
     
  • abrari 11:45 am on 2 April 2012 Permalink | Balas  

    5 kegalauan syar’i 

    Diambil dari sebuah posting di FB.

    PERTAMA
    Kegalauan karena dosa pada masa lampau, karena dia telah melakukan sebuah perbuatan dosa sedangkan dia tidak tahu apakah dosa tersebut diampuni atau tidak. Dalam keadaan tersebut dia harus selalu merasakan kegalauan dan sibuk karenanya.

    KEDUA
    Dia telah melakukan kebaikan, tetapi dia tidak tahu apakah kebaikan tersebut diterima atau tidak.

    KETIGA
    Dia mengetahui kehidupannya yang telah lalu dan apa yang terjadi kepadanya, tetapi dia tidak mengetahui apa yang akan menimpanya pada masa mendatang.

    KEEMPAT
    Dia mengetahui bahwa Allah menyiapkan dua tempat untuk manusia pada hari Kiamat, tetapi dia tidak mengetahui ke manakah dia akan kembali (apakah ke Surga atau ke Neraka).

    KELIMA
    Dia tidak tahu apakah Allah ridha kepadanya atau membencinya?

    Siapa yang merasa galau dengan lima hal ini dalam kehidupannya, maka tidak ada kesempatan baginya untuk tertawa.

    [(Tanbiihul Ghaafiliin (I/213), al Faqih as Samarqandy. Tahqiq ‘Abdul ‘Aziz al Wakil, Darus Syuruuq, 1410H) “Ad-Dun-yaa Zhillun Zaa-il”, Penulis ‘Abdul Malik bin Muhammad al-Qasim].

     
  • abrari 4:56 am on 2 April 2012 Permalink | Balas  

    Diterima 

    Drama singkat pagi ini.

    Menemui ketua departemen, kemudian menyerahkan surat lamaran, CV, dan transkrip nilai. Dibaca beberapa saat, kemudian direspon, “Ok, secara umum Anda sudah diterima. Minggu depan mulai masuk ya.”

    Alhamdulillahi rabbil ‘alamin. Cuma staf departemen, tapi semoga bisa jadi sumber ma’isyah. Walaupun jalan Insya Allah masih panjang, kira-kira masih 2-3 tahun lagi baru bisa berstatus sebagai “staf pengajar”.

     
    • iin 2:31 pm on 13 April 2012 Permalink | Balas

      waah , mas abrar saya saluut, selamat ka’, staf di mananya ka??

c
Compose new post
j
Next post/Next comment
k
Previous post/Previous comment
r
Balas
e
Sunting
o
Show/Hide comments
t
Pergi ke atas
l
Go to login
h
Show/Hide help
shift + esc
Batal