Nikah? Gundhulmu itu!

Alkisah, seorang pemuda dihinggapi gelisah di saat kuliah. Godaan yang mengancam agama dan kehormatannya terasa kian keras mendera. Puasa dan beraktivitas positif telah dilakukannya. Tetapi kadang justru itu! Aktivitas dakwah justru mempertemukannya dengan para akhawat yang menarik hatinya (nah ini nggak bener dakwahnya .red). Hatinya kian gerah. Maka kepada ayahanda dan ibunda dikuatkannya hati untuk berkata, “Pak..Bu..Boleh nggak saya nikah sekarang…?

Tentu saja ada empat mata yang terbelalak di ruang keluarga selepas isya hari itu.

“Heh..ngomong apa kamu? Nikah? Nikah? Gundhulmu itu!”

Kepalanya menunduk.

“Mbok ya sadar, Nak..”, kali ini terdengar lebih lembut. Sang ibu. “Kamu itu kuliah masih semester berapa?! Bapak dan ibu nggak pernah melarang kamu ikut-ikutan aktivitas…apa itu namanya…e?”

“Dakwah..”

“Iya dakwah! Tapi jangan aneh-aneh! Nikah saat kuliah, memangnya anak istrimu mau dikasih makan apa? Dipikirkan yang dalam ya Nak.. Jangan bicarakan lagi masalah nikah sebelum kamu lulus ya!”

“Tapi, banyak godaan Bu.. Nggak kuat!”

“Puasa, puasa!! Katanya belajar agama, gitu aja nggak ngerti.”

“Sudah Pak..Sudah..”, sang ibu menarik tangan ayahnya. Lalu dia ditinggalkan. Sendiri. Tergugu. Wajahnya panas. Matanya berkaca-kaca. Hatinya belah.

Beberapa semester berlalu, dan esok adalah wisuda yang dinanti-nanti. Maka malam ini adalah saatnya bicara, begitu sang pemuda bergumam dalam hati.

“Pak..saya sudah lulus..tentang pernikahan..?”

“Eh, lulus itu artinya kamu pengangguran baru!”

“Iya Nak..kamu konsentrasi cari kerja dulu ya…”

Dan ia tak berkata apa-apa lagi. Harapan yang berkecambah telah tersiram air panas.

Waktu berganti. Dan kini pekerjaan sudah dalam genggaman.

“Pak..Bu..Emm, saya kan sudah kerja sekarang..”

“Kerja apa? Serabutan gitu! Tidak nyambung dengan kuliahmu! Hh..Dengarkan! Bapak mau bicara baik-baik. Kamu cari pekerjaan yang mapan dulu. Baru kita bicarakan pernikahan!”

Pucuk daun harapan kembali pupus, hangus terbakar matahari.

Tetapi Allah Maha Kuasa. Beberapa tahun berjalan, pekerjaan di sebuah instansi bergengsi pun didapat. Dan berseri-seri wajah pemuda itu menghadap, “Pak..Saya sudah bekerja seperti harapan Bapak..”

“Lha, kamu itu berangkat kerja saja masih pakai motor yang Bapak belikan. Nanti, ngomongin nikah kalau kamu sudah punya mobil..”

Dan beberapa tahun kemudian. “Pak..Bu..Saya sudah punya mobil..”

“Tapi nanti mau tinggal dimana Nak..? Coba ya, kamu usahakan punya rumah dulu..”, kali ini sang ibunda yang lembut hati. Yang ia merasa hilang daya dan lumer sumsum kalau beliau sudah bicara. Ia menyerah lagi.

Hingga suatu hari. “Pak..Bu..Rumahnya sudah jadi!!! Jadi, kapan saya dinikahkan?”

Bapak ibunya saling berpandangan. Dan mereka menangis, “Aduh Nak..Umurmu sudah 55..Siapa yang mau?”

Disadur dari tulisan di internet, dari “Jalan Cinta Para Pejuang” (Salim A Fillah)