Jangan lihat kebenaran dari jumlah pelakunya

Jangan melihat sesuatu itu benar atau salah menurut syari’at hanya dengan melihat jumlah pelakunya. Karena sesungguhnya kebenaran itu adalah apa-apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya, meskipun sebagian besar manusia tidak melaksanakannya.


Ini merupakan fenomena yang ada di kalangan umat ini. Mereka menilai bahwa jika suatu perbuatan itu dilakukan oleh kebanyakan orang, maka hal itu adalah sesuatu yang dapat dibenarkan. Misalnya, kalau kita peringatkan sesuatu yang melanggar syari’at, mereka beralasan, “Loh, kan ini biasa, mereka juga melakukan ini”. Ini seperti ungkapan “menghalalkan yang biasa”, padahal seharusnya kita “membiasakan yang halal”.

Ini diperkuat dengan ayat dari al-Qur’an:

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta.” (Q.s. al-An‘am: 116).

Jelas bahwa kebanyakan manusia tidaklah dapat dijadikan alasan untuk membenarkan suatu perbuatan. Juga seperti yang kita ketahui bersama bahwa orang yang masuk surga itu lebih sedikit daripada orang yang masuk ke neraka. Orang-orang yang selamat pada hari kiamat nanti walaupun berjumlah sedikit tetapi mereka disebut dengan nama As-sawadul A’zhom (golongan yang besar). Sebab mereka memiliki nilai yang besar di sisi Allah meskipun berjumlah sedikit.

Seorang ustadz pernah mengatakan, “Seandainya yang banyak itu yang benar, niscaya agama nasrani itulah yang benar.” Ya, jumlah pemeluk nasrani di dunia ini lebih banyak daripada umat muslim. Lantas apakah yang banyak itu yang benar? Tentu kita bisa menjawabnya sendiri.

Lagipula, kalau kita hanya mengikuti kebiasaan kebanyakan manusia, alangkah mudahnya kita akan terombang-ambing tanpa petunjuk yang jelas. Kalau kebanyakan manusia itu rusak, niscaya kita akan rusak juga. Berbeda jika misalnya kita mengikuti dan berpegang teguh dengan sumber kebenaran sejati, yaitu al-Quran dan as-Sunnah yang kebenarannya akan tetap terjaga sepanjang zaman.

Terakhir, ada hadits yang mahsyur,

“Sesungguhnya Islam datang dalam keadaan asing dan akan kembali pula dalam keadaan asing, maka berbahagialah orang-orang (yang) dikatakan asing.”
(HR. Muslim)

Juga hadits,

“Akan datang suatu zaman (yang pada saat itu) orang yang sabar di atas agamanya semisal orang yang memegang bara api.” (HR. Tirmidzi)

Ya, mungkin zaman itu telah tiba, bahwa jika kita hendak melaksanakan Islam secara kaffah, maka kita akan jadi “orang yang paling aneh”. Ya, aneh karena kita “berbeda” karena memang kebanyakan kaum muslimin mulai meninggalkan ajaran agamanya.

Wallahul musta’an…