Disia-siakan
Mungkin Anda juga pernah mengalami hal seperti ini. Saat usaha yang Anda lakukan tidak dihargai, sehingga Anda merasa usaha tersebut sia-sia. Sebenarnya bukan usaha kita yang sia-sia, tapi orang lain yang menyia-nyiakan usaha tersebut. Kejadian ini juga terkait dengan indahnya birokrasi. Hal itulah yang saya alami kemarin.
Cerita dimulai seminggu yang lalu, saat ane sedang melakukan praktikum kimia. Secara tidak sadar ada sesuatu yang terjatuh. Setelah dilihat, ternyata sebuah pengaduk dari kaca. Karena terbuat dari kaca, tentu saja ada kerusakan pada pengaduk yang terjatuh itu. Sebenarnya saya tidak yakin siapa yang menyenggolnya sampai jatuh. Tapi karena manusia terdekat dengan lokasi jatuhnya benda adalah saya, maka secara otomatis sayalah yang harus bertanggung jawab. Ya, menggantinya dengan yang baru.

Pengaduk kaca
Akhirnya, saya nitip dibelikan pengaduk kaca itu kepada seorang teman yang rumahnya di Bogor karena dialah yang tahu tempat yang menjual benda-benda semacam itu. Beberapa hari kemudian, benda itu sudah dibelinya. Harganya cuma 6.000 rupiah.
Lalu, kemarin, seminggu setelah tragedi pecahnya pengaduk kaca itu, ane mengunjungi pihak yang mengurusi alat-alat laboratorium untuk menyerahkan pengaduk yang baru dibeli itu. Sesampainya di sana, saya dipertemukan dengan seseorang (sebut saja Fulan). Saya utarakan keperluan saya sambil menunjukkan benda pengganti itu dengan bangganya. Kemudian, Si Fulan mengatakan sesuatu (sebagai awal mulai menyia-nyiakan), “Bon (nota) pembeliannya mana?”
Mendengar itu, degup jantung saya pun semakin cepat, membayangkan hal apa yang akan terjadi kemudian. Saya pun beralasan bahwa benda itu saya beli dengan nitip kepada teman, dan teman saya itupun tentu tidak mengambil nota pembeliannya. Kemudian Si Fulan dengan bijaksananya mengatakan, “Pokoknya saya tidak mau tahu, kalau mengganti alat harus pakai bon pembelian.”
Hampir saja saya mengatakan, “Jadi yang saya beli ini sia-sia?”. Namun karena tidak tega berani, saya pun berpaling sambil mengucapkan terima kasih dengan beratnya sambil menyimpan rasa kesal dan menyesal.
Karena tidak ada toko yang hanya menjual nota pembelian, akhirnya saya pun terpaksa membeli lagi benda itu, kini lengkap dengan nota pembelian dan bungkus yang cantik. Berharap Si Fulan mau menerimanya dan tidak me-saya-tidak-mau-tahu-kan saya lagi. Jadi, kini saya punya dua benda itu, dimana yang satu lagi akan diberikan kepada Si Fulan, sementara benda yang satu lagi (yang disia-siakan) entah mau diapakan. Mungkin akan digunakan untuk mengaduk gula saat membuat teh manis.
Jadi, dapat diambil pelajaran bahwa,
- Bertanyalah terlebih dahulu teknis penggantian sebelum mengganti alat laboratorium yang rusak.
- Jika tidak, maka minimal Anda akan mengganti alat yang rusak seharga 2 kali harga normal.
- Jangan sampai merusak alat laboratorium.
- Tabah dan bersabarlah saat di-saya-tidak-mau-tahu-kan.
Untungnya, benda yang saya harus ganti hanyalah sebuah pengaduk kaca seharga 6.000 rupiah. Bayangkan saja bila ada praktikan yang merusak sebuah tabung kecil (yang katanya berharga 150.000 ribuan), kemudian mengalami nasib serupa dengan saya.
rismaka 6:53 am on 30 Mei 2009 Permalink |
Wajar brar, itu normal kok, soalnya mereka perlu bukti bahwa benda yg diganti tersebut bukan benda hasil “nyolong” di lab lain. Gitu… Tapi tentu saja cara ngomongnya yang salah.
Lab mana siy? Kimia atau TPG? Siapa nama laboran/dosennya? Kalau di lab kimia bilang aja, “saya temennya aris, mantan seleb biokim 38” gitu.. dijamin deh…
*/dijamin dipentung maksudnya/*
abrari 7:28 am on 30 Mei 2009 Permalink
Ya, ane juga sadar kalo itu adalah sistem proteksi untuk menghindari kecurangan.
Tapi kok gak diberitahu dulu gitu loh. Apa sayanya aja ya yang nggak nanya dulu?
Itu di lab kimia TPB.
visakana 11:48 am on 30 Mei 2009 Permalink |
sabar sabar…
abrari 12:44 pm on 30 Mei 2009 Permalink
Ane udah gak ambil pusing kok. Yang lalu biarlah menjadi kenangan yang indah.
a3u5z1i 3:01 pm on 30 Mei 2009 Permalink |
Hati-hati Brar.. Angkatan ane ada yang nilai kimia sekelas telat keluar 1 bulan gara-gara belum gantiin pipet besar yang rusak (lupa nama resminya.. sudah lupa saya…)
abrari 9:27 pm on 30 Mei 2009 Permalink
Karena itulah, ane bersemangat segera nggantiin. Tapi ternyata usaha awal disia-siakan.
fariz 5:45 pm on 30 Mei 2009 Permalink |
hari pertama praktikum kelompok ane mecahin labu ukur yang tipisnya banget-banget, termometer, tabung reaksi 2, pengaduk..
total pengeluaran 200rb lebih.. :(
abrari 9:24 pm on 30 Mei 2009 Permalink
Waw, banyak bener. Pake nota pembelian juga gak :)
nurussadad 12:30 am on 31 Mei 2009 Permalink |
tenang baru yg 6 ribu, di angkatan gw ada yang mecahin tabung senilai 2,5 juta koq….
tapi yg mecahin aspraknya :p, bagaimana kisah selanjutnya? tanya sie Auzi.. klo dia tau sih
abrari 5:38 am on 31 Mei 2009 Permalink
Berarti jangan jadi asprak kimia ya. Beresiko tinggi.
abrari 10:46 am on 31 Mei 2009 Permalink
Btw, harganya jadi 12 ribu loh, gara-gara ane belinya 2 kali.
abrari 10:45 am on 31 Mei 2009 Permalink |
Yah, anda gak ngasih tau sih… Jadi sudah ada banyak korban selain saya ya :)
macapagal aroyo 2:20 am on 1 Juni 2009 Permalink |
brar,yangsatu kasih ane aj bwt cadangan klo ad praktikum. wah semester ini ane juga mecahin pipet tetes.
abrari 4:22 am on 1 Juni 2009 Permalink
Enak aja. Mendingan buat ngaduk minuman.
deak 11:29 am on 1 Juni 2009 Permalink |
gw jugak mecahin alat brar,
corong.
tapi kalo disini urusan kayak bgituan di tangani ma bem.jadi kita ckup bayar.nota nota dan teknis lainya udah ma bem.
rc7 4:12 am on 3 Juni 2009 Permalink |
sabar kang..
dah g mecahin, disuruh ganti 2 kali lagi..ckckckck
wildan 6:05 pm on 4 Juni 2009 Permalink |
untung gak mecahin neraca analitik :D Soal bon emang wajib, untuk menghindari kecurangan dan memastikan barang yang dibeli berkualitas sama.
Perasaan dijelasin ah pas pertama kali praktikum ( pengenalan lab, dll ). Lu aja yang gak merhatiin kali? wkwkwkw :p
abrari 10:28 pm on 4 Juni 2009 Permalink
Hehe, emang benda itu bisa pecah ya…
Gak ah. Asistennya gak jelasin apapun tentang teknis penggantian alat.